RSS

Arsip Harian: 9 Agustus 2013

Risk Management

  1. A.    CHECK LIST

Check list adalah salah satu cara yang paling sederhana yang lazim digunakan untuk mengurangi kesalahan atau bahkan kegagalan yang dapat ditimbulkan oleh keterbatasan memori dan perhatian manusia. Cara ini membantu untuk memastikan konsistensi dan kesempurnaan dalam melaksanakan suatu tugas atau kegiatan.

Contoh yang paling sederhana adalah “to do the list” sedangkan contoh yang lebih kompleks dapat berupa jadwal, yang menjabarkan tugas-tugas berdasarkan waktu dan faktor berpengaruh lainnya.

Checklist sering dipresentasikan dalam bentuk daftar tugas dengan checkboxes di sebelah kiri daftar tugas tersebut, kemudian tanda centang diberikan dalam checkboxes tersebut setelah tiap-tiap daftar tugas tersebut selesai dilaksanakan.

Banyak hazard  dapat diidentifikasi dengan menggunakan checklist. Proswdur umum untuk membau checklist adalah sebagai berikut:

  1. Tentukan sasaran dari checklist. Apa tujuannya, di mana akan digunakan, dan hasil akhir apa yang diharapkan? Yang paling penting adalah hal-hal apa saja yang tidak dapat dicapai dengan hanya menggunakan metode ini, dan metode apa lagi yang diperlukan? Kenali keterbatasan tersebut sebelum memulai.
  2. Identifikasi cakupan wilayah keahlian yang diperlukan dalam checklist, dan pilih orang-orang yang berkompetensi dalam masing-masing bidang.
  3. Mulailah kembangkan checklist. Kemudian bagilah project tersebut ke dalam beberapa subsistem untuk memudahkan analisis
  4. Ambillah penilaian independen dari manajer atau project engineer berpengalaman. Langkah ini sangat krusial untuk mengidentifikasi kemungkinan kelebihan prediksi atau bahkan kelalaian menentukan prediksi.
  5. Perbaharui checklist jika diperlukan, ketika informasi-informasi tamabahan tentang project terebut diproleh.

Namun checklist juga memiliki kekurangan:

  • Karena tidak memiliki standard khusus, item-item dalam checklist sangat tergantung pada pengetahuan dan pengalaman para penyusun checklist. Oleh karena itu, pemilihan personel penuyusun checklist sangat menentukan keberhasilan projuct,
  • Checklist hanya merupakan “yes or no question” yang tidak dapat menggambarkan secara detil efisiensi dari suatu subsistem dalam project yang dilaksanakan,
  • Checklist tidak dapat mengurutkan skala prioritas (rangking) suatu hazard,
  • Apabila checklist disusun oleh orang yang kurang berpengalaman, kemungkinan  terlewatnya suatu hazard menjadi lebih besar.
  1. B.     WHAT IF ANALYSIS

What if Analysis adalah metode ide terstruktur menentukan hal-hal apa yang bisa salah dan menilai kemungkinan dan konsekuensi dari situasi yang terjadi. Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini membentuk dasar untuk membuat penilaian mengenai batas wajar risiko tersebut dan menentukan program tindakan yang direkomendasikan bagi yang risiko dinilai tidak dapat diterima. Sebuah tim review yang berpengalaman dapat secara efektif dan produktif memahami isu utama tentang proses atau sistem. Dipimpin oleh seorang berpengalaman yang fokus, setiap anggota tim review berpartisipasi dalam menilai apa yang bisa salah berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dan pengetahuan tentang situasi yang sama.

Menggunakan prosedur operasi dan / atau Piping dan Instrument Diagram (P & ID), tim review langkah operasi atau proses yang menggunakan bentuk mirip dengan ilustrasi pada Gambar-B 1. Anggota tim biasanya meliputi personil operasi dan pemeliharaan, desain dan / atau insinyur operasi, keterampilan khusus sesuai kebutuhan (ahli kimia, insinyur struktur, radiasi ahli, dll) dan perwakilan keamanan. Pada setiap langkah dalam prosedur atau proses, “What-if questions” disertakan dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dilampirkan. Untuk meminimalkan kemungkinan bahwa potensi masalah tidak diabaikan, rekomendasi-rekomendasi terlampir dilaksanakan sampai semua potensi bahaya teridentifikasi.

Tim review kemudian membuat penilaian mengenai kemungkinan dan keparahan dari “what-if answer”. Jika risiko yang ditunjukkan oleh penilaian mereka tidak dapat diterima maka rekomendasi dibuat oleh tim untuk tindakan lebih lanjut. Analisis yang telah selesai ini kemudian dirangkum dan diprioritaskan, dan tanggung jawab untuk dilaksanakan.

What If?

Jawaban

Kemungkinan

Konsekuensi

Rekomendasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar B-1. Form What-if Analysis

Langkah-langkah What-if Analysis:

  1. Langkah pertama adalah melakukan analisis yang efektif termasuk memilih batas-batas review, melibatkan individu-individu yang tepat, dan memiliki informasi yang benar. Batas-batas review mungkin merupakan satu peralatan, koleksi peralatan yang berhubungan atau keseluruhan fasilitas.
  2. Langkah selanjutnya yang paling penting adalah mengumpulkan informasi yang dibutuhkan. Salah satu cara penting untuk mengumpulkan informasi tentang proses yang ada atau bagian dari peralatan ini untuk setiap anggota tim review untuk mengunjungi dan berjalan melalui operasi
  3. Sekarang tim memiliki kesempatan untuk meninjau paket informasi, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis.
  • Mengembangkan “What-if Questions”- Menggunakan dokumen yang tersedia dan pengetahuan dari tim review, “What-if Questions” dapat dirumuskan sekitar kesalahan manusia, gangguan proses, dan kegagalan peralatan. Kesalahan ini dan kegagalan dapat dianggap selama operasi produksi normal, selama konstruksi, selama kegiatan pemeliharaan, serta selama situasi de-bugging.
  • Menentukan Jawaban – Setelah yakin bahwa tim review telah selesai menetukan “What-if” skenario, fasilitator kemudian memiliki tim untuk menjawab pertanyaan, Apa yang akan menjadi hasil dari situasi yang terjadi?
  • Menilai Risiko & Rekomendasi Membuat – Tanpa mempertimbangkan  jawaban atas “What-if Questions”, tugas selanjutnya adalah membuat keputusan mengenai kemungkinan dan keparahan situasi itu. Dengan kata lain apa risiko yang mungkin terjadi. Tim mengkaji kebutuhan untuk membuat penilaian mengenai tingkat risiko dan batas wajar penerimaan resiko tersebut.
  1. C.    FAILURE MODE AND EFFECTS ANALYSIS (FMEA)

FMEA adalah prosedur dalam pengembangan produk dan manajemen operasi untuk analisis potensi kegagalan dalam mode sistem klasifikasi dengan tingkat keparahan dan kemungkinan kegagalan. Suatu kegiatan FMEA berhasil membantu tim untuk mengidentifikasi mode kegagalan potensial berdasarkan pengalaman masa lalu dengan produk sejenis atau proses, yang memungkinkan tim untuk merancang kegagalan mereka keluar dari sistem dengan minimum usaha dan pengeluaran sumber daya, sehingga mengurangi waktu pengembangan dan biaya. Hal ini banyak digunakan dalam industri manufaktur di berbagai tahapan dari siklus hidup produk dan sekarang semakin menemukan digunakan dalam industri jasa. Mode Kegagalan adalah setiap kesalahan atau cacat pada desain, proses, atau item, terutama yang mempengaruhi pelanggan, dan dapat potensial atau aktual. Efek analisis mengacu pada mempelajari konsekuensi dari kegagalan-kegagalan tersebut

  • Langkah 1: Menentukan kejadian

Occurrence langkah ini perlu untuk melihat penyebab modus kegagalan dan berapa kali itu terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat produk sejenis atau proses dan mode kegagalan yang telah didokumentasikan untuk mereka. Penyebab kegagalan dipandang sebagai kelemahan desain. Semua penyebab potensial untuk modus kegagalan harus diidentifikasi dan didokumentasikan. Sekali lagi ini harus dalam istilah-istilah teknis. Contoh penyebabnya: algoritma keliru, tegangan yang berlebihan atau kondisi operasi yang tidak benar. Modus kegagalan adalah diberi peringkat kejadian (O), lagi 1-10. Tindakan perlu ditentukan jika kejadian tinggi (artinya> 4 untuk mode kegagalan non-keselamatan dan> 1 ketika beratnya-nomor dari langkah 1 adalah 1 atau 0). Langkah ini disebut bagian perkembangan rinci dari proses FMEA. Kejadian juga dapat didefinisikan sebagai%. Jika isu non-keamanan yang terjadi kurang dari 1%, kita dapat memberikan 1 untuk itu. Hal ini didasarkan pada produk dan spesifikasi pelanggan.

Rating

Meaning

1 No effect
2/3 Low (relatively few failures)
4/5/6 Moderate (occasional failures)
7/8 High (repeated failures)
9/10 Very high (failure is almost inevitable)
  • Langkah 2:

Tentukan Sensitivitas mode kegagalan semua didasarkan pada persyaratan fungsional dan efeknya. Contoh mode kegagalan adalah: hubungan arus pendek listrik, korosi atau deformasi. Modus kegagalan dalam salah satu komponen dapat menyebabkan mode kegagalan komponen lain, sehingga setiap mode kegagalan harus tercantum dalam istilah teknis dan untuk fungsi. Akhirat efek akhir dari setiap mode kegagalan perlu dipertimbangkan. Sebuah efek kegagalan didefinisikan sebagai hasil dari modus kegagalan pada fungsi sistem seperti yang dirasakan oleh pengguna. Dengan cara ini akan lebih mudah untuk menulis efek ini turun dalam hal apa yang user mungkin akan melihat atau pengalaman. Contoh efek kegagalan adalah: kinerja rusak, kebisingan atau bahkan cedera pada pengguna. Setiap efek diberi nomor sensitivitas (S) dari 1 (bahaya tidak) untuk 10 (kritis). Angka-angka ini membantu seorang insinyur untuk memprioritaskan mode kegagalan dan efek mereka. Jika sensitivitas efek memiliki nomor 9 atau 10, tindakan yang dianggap mengubah desain dengan menghilangkan mode kegagalan, jika mungkin, atau melindungi pengguna dari efek. Sebuah rating kepekaan 9 atau 10 adalah umumnya dicadangkan untuk efek-efek yang akan menyebabkan cedera pada pengguna atau mengakibatkan litigasi.

Rating

Meaning

1 No effect
2 Very minor (only noticed by discriminating customers)
3 Minor (affects very little of the system, noticed by average customer)
4/5/6 Moderate (most customers are annoyed)
7/8 High (causes a loss of primary function; customers are dissatisfied)
9/10 Very high and hazardous (product becomes inoperative; customers angered; the failure may result unsafe operation and possible injury)
  • Langkah3: Deteksi

Ketika tindakan yang tepat ditentukan, perlu untuk menguji efisiensi mereka. Selain itu, verifikasi desain diperlukan. Metode pemeriksaan yang tepat perlu dipilih. Pertama, seorang insinyur harus melihat pada saat kontrol sistem, yang mencegah mode kegagalan dari terjadi atau yang mendeteksi kegagalan sebelum mencapai pelanggan. Akhirat orang harus mengidentifikasi pengujian, analisis, pemantauan dan teknik lain yang bisa atau telah digunakan pada sistem yang serupa untuk mendeteksi kegagalan. Dari seorang insinyur kontrol ini dapat belajar bagaimana besar kemungkinan untuk kegagalan untuk diidentifikasi atau terdeteksi. Setiap kombinasi dari 2 langkah sebelumnya menerima sejumlah deteksi (D). Ini peringkat kemampuan pengujian dan inspeksi yang direncanakan untuk menghapus cacat atau mendeteksi modus kegagalan pada waktunya. Jumlah deteksi ditugaskan mengukur risiko bahwa kegagalan akan lolos deteksi. Sejumlah deteksi tinggi menunjukkan bahwa kemungkinan besar bahwa kegagalan akan lolos dari deteksi kami, atau dengan kata lain, bahwa kemungkinan deteksi rendah.

Rating

Meaning

1 Almost certain
2 High
3 Moderate
4/5/6 Moderate – most customers are annoyed
7/8 Low
9/10 Very remote to absolute uncertainty
  1. D.    HAZARD AND OPERATION METHOD (HAZOP)

 

  • Konsep HAZOP

Proses HAZOP didasarkan pada prinsip bahwa pendekatan tim untuk analisis bahaya akan mengidentifikasi masalah lebih dari ketika individu yang bekerja secara terpisah menggabungkan hasil. HAZOP Tim terdiri dari individu dengan berbagai latar belakang dan keahlian. Keahlian dibawa bersama-sama selama sesi HAZOP dan melalui upaya brainstorming kolektif yang merangsang kreativitas dan ide-ide baru, tinjauan menyeluruh dari proses di bawah pertimbangan dibuat.

 

  • Proses HAZOP

Tim HAZOP berfokus pada bagian spesifik dari proses yang disebut “node”. Umumnya diidentifikasi dari P & ID dari proses sebelum studi dimulai. Sebuah parameter proses diidentifikasi, mengatakan aliran, dan niat dibuat untuk node dalam pertimbangan. Kemudian serangkaian dari guidewords dikombinasikan dengan “aliran” parameter untuk membuat sebuah penyimpangan. Sebagai contoh, guideword “tidak” dikombinasikan dengan aliran parameter untuk memberikan deviasi “ada aliran”. Tim kemudian memfokuskan pada daftar semua penyebab dipercaya dari “ada aliran” awal deviasi dengan penyebabnya yang dapat mengakibatkan konsekuensi kemungkinan terburuk tim dapat memikirkan pada saat itu. Setelah penyebab dicatat tim daftar konsekuensi, perlindungan dan setiap rekomendasi dianggap tepat. Proses ini diulang untuk deviasi berikutnya dan seterusnya sampai selesai node. Tim bergerak ke node berikutnya dan mengulangi proses tersebut.

 

 

 

  1. E.     ACTION ERROR ANALYSIS (AEA)

What is an AEA

AEA adalah singkatan untuk analisis tindakan kesalahan. Tujuan utama dari melakukan AEA adalah untuk mengidentifikasi kesalahan manusia selama operasi kritis dan mengurangi risiko ke tingkat yang dapat diterima melalui tindakan pengurangan risiko. Hal ini dicapai dengan mengidentifikasi mode kegagalan manusia dalam prosedur, penyebab, konsekuensi, risiko, dan kebutuhan untuk pengurangan risiko. Tujuan rinci dari AEA adalah:

  • dokumentasi lengkap dan sistematis dari potensial kesalahan manusia
  • Mengidentifikasi penyebab kesalahan manusia dan menyebabkan kesalahan manusia mengurangi tindakan
  • Mengidentifikasi konsekuensi serius dan mengurangi konsekuensi tindakan
  • Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang prosedur
  • Meningkatkan reputasi vendor dan operator dengan memiliki kontrol prosedur

Why

Pelaksanaan AEA hanya setelah pengembangan prosedur akan mengungkapkan kelemahan prosedur yang dapat mencegah kesalahan manusia kritis selama operasi.

How

Proses AEA dibagi menjadi lima kegiatan:

Aktivitas dapat dihilangkan jika argumen yang jelas dan masuk akal disediakan. Metode AEA dijelaskan dalam buku teks paling keandalan. Deskripsi ini teoritis dan tidak menjelaskan apa yang harus dilakukan dan kapan melakukannya sebagai proses kerja. Deskripsi Textbook juga membahas perlunya untuk mendukung alat-alat seperti faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, tetapi tidak memberikan informasi tersebut. Kebutuhan untuk deskripsi praktis proses AEA dengan alat-alat penunjang yang diperlukan telah mengakibatkan pengembangan pedoman AEA.

When

Analisis harus dilakukan untuk semua prosedur baru di mana kesalahan manusia dapat menyebabkan risiko yang tidak dapat diterima. Seorang penjual harus misalnya melakukan analisis untuk prosedur penanganan kritis terhadap teknologi baru selama fase desain. Pedoman ini terutama dibuat untuk menganalisis prosedur vendor selama tahap desain. Namun, analisis tersebut juga dapat digunakan untuk menganalisis prosedur operator baru. Terakhir, analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis prosedur yang ditetapkan di mana pengalaman telah mengungkapkan tugas-tugas penting.

Responsibilities

Vendor mempunyai tanggung jawab utama untuk melakukan analisis risiko untuk prosedur yang berkaitan dengan peralatan mereka. Namun, operator bertanggung jawab untuk berpartisipasi.

Content

Fitur konten AEA diilustrasikan pada gambar di bawah ini.

Kelebihan dan Kekurangan

 1. AEA membutuhkan prosedur rinci akan tersedia, sehingga analisis ini tidak cocok untuk tindakan berdasarkan perilaku berbasis pengetahuan. Kualitas AEA tergantung dari para peserta dan kemampuan mereka untuk mengidentifikasi kesalahan manusia, sebab dan akibat. Oleh karena itu semua hasil dari analisis ini tidak harus dianggap sebagai pernyataan fakta, melainkan sebagai pendekatan sistematis untuk menggambarkan risiko dengan cara yang terbaik. Kesimpulan dari analisis selalu bisa dibahas.
 2. AEA mengasumsikan penjelasan prosedur yang benar dan tidak akan membahas langkah-langkah yang hilang, langkah yang tidak perlu, salah langkah, langkah-langkah dieksekusi dalam urutan yang salah dan waktu. Masalah-masalah harus diverifikasi sebelum analisis.
 3. AEA telah penekanan pada kesalahan manusia dan penyebabnya.
 4. AEA tidak cocok untuk menganalisis prosedur dengan tingkat tinggi pemecahan masalah dan pengambilan keputusan (jika kemudian).
 5. AEA mempertimbangkan setiap mode kesalahan tindakan sebagai kejadian yang independen ketika menganalisis konsekuensi. Dalam mengangkat tindakan yang lebih nyata mode kesalahan mungkin terjadi pada waktu yang sama. Juga kombinasi mode kesalahan tindakan dan mode kegagalan fisik mungkin terjadi pada waktu yang sama.
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 9 Agustus 2013 inci Ilmu Lanjutan

 

Analis Tegangan pada PIPA – Bag.I

Ada beberapa macam mode kegagalan yang bisa terjadi pada suatu sistem perpipaan. Para piping engineer bisa melakukan tindakan pencegahan untuk melawan mode kegagalan tersebut dengan melaksanakan stress analysis berdasarkan ketentuan dan aturan dalam dunia perpipaan. Dua macam mode kegagalan yang biasa terjadi pada pipa adalah sebagai berikut:

  • Kegagalan karena tegangan yield (material melebihi deformasi plastis):

  • Kegalalan karena fracture (material patah/fails sebelum sampai batas tegangan yieldnya):

    • Brittle Fracture: Terjadi pada material yang getas (mudah pecah/patah)

    • Fatigue (kelelahan): Disebabkan oleh adanya beban yang berulang

Teori maximum principal stress adalah yang digunakan dalam ASME B31.3 sebagai dasar teori untuk analisa pipa. Nilai maksimum atau minimum dari normal stress bisa disebut sebagai principal stress. Selanjutnya tegangan (stress) dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu:

  • Primary Stresses

    • Terjadi karena respon dari pembebaban (statis dan dinamis) untuk memenuhi persamaan antara gaya keluar dan gaya ke dalam, serta gaya momen dari sebuah sistem pipa. Primary stresses are not self-limiting.

  • Secondary Stresses

    • Terjadi karena perubahan displacement dari struktur yang terjadi karena thermal expansion dan atau karena perpindahan posisi tumpuan. Secondary stresses are self-limiting.

  • Peak Stresses

    • Tidak seperti kondisi pembebanan pada secondary stress yang menyebabkan distorsi, peak stresses tidak menyebabkan distorsi yang signifikan. Peak stresses adalah tegangan tertinggi yang bisa menyebabkan terjadinya kegagalan kelelahan (fatigue failure).

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 9 Agustus 2013 inci Artikel

 

Hull Form Parameters

Semua koefisien, luas, titik berat luasan, volume, titik berat volume dan lain-lain berubah harganya menurut sarat kapal. Padahal harga-harga tersebut dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Maka dibuat suatu diagram yang menunjukkan harga-harga tersebut sebagai fungsi sarat: kurva hidrostatik.

  • sumbu X pada perpotongan bidang dasar dengan bidang tengah bujur, positif ke arah haluan kapal
  • sumbu Y pada perpotongan bidang dasar dengan bidang tengah lintang, positif ke arah lambung kiri
  • sumbu Z pada perpotongan bidang tengah bujur dengan bidang tengah lintang, positif ke arah atas

Kedudukan kapal: tidak trim, tidak oleng.

    1. Luas garis air WPA
    2. titik berat garis air LCF
    3. TPC
    4. WSA
    5. Volume kulit
    6. Luas gading besar
    7. Kurva Bonjean
    8. displasemen moulded (volume)
    9. displasemen moulded ditambah displasemen kulit (volume & gaya di air tawar)
    10. displasemen moulded ditambah displasemen kulit (volume & gaya di air laut)
    11. tinggi titik apung KB
    12. letak memanjang titik apung LCB
    13. Koefisien blok
    14. koefisien prismatic
    15. Koefisien prismatic
    16. koefisien gading besar
    17. LBM
    18. TBM
    19. MTC
    20. DDT
  • Langsung aja klik disini

Penjelasannya adalah sebagai berikut

HYDROSTATIC & BONJEAN CURVES

Fungsi lengkung hidrostatik adalah untuk mengetahui sifat-sifat badan kapal yang tercelup di dalam air, atau dengan kata lain untuk mengetahui sifat-sifat karene. Cara yang paling umum untuk menggambarkan lengkung-lengkung hidrostatik adalah dengan membuat dua sumbu saling tegak lurus. Sumbu mendatar adalah garis dasar kapal (base-line) sedangkan garis vertikal menunjukkan sarat tiap water line yang dipakai sebagai titik awal pengukuran lengkung-lengkung hidrostatik.

Lengkung-lengkungan hidrostatik digambar sampai sarat penuh dan tidak berlaku untuk kondisi kapal trim. Ada 20 lengkungan dalam Lengkung Hidrostatik. Lengkung-lengkung tersebut adalah :

1. Water Plan Area (WPA)

WPA adalah luas bidang garis air yang telah kita rencanakan dalan Lines Plan dari tiap-tiap water line. Kemungkinan-kemungkinan bentuk WPA ditinjau dari  bentuk alas kapal antara lain:

–          Untuk kapal dengan rise of floor, pada 0 mWL luas garis air adalah nol karena luasan water line hanya berupa garis lurus(base-line), sehingga lengkung WPA dimulai dari titik (0,0).

–          Untuk kapal tanpa rise of floor, pada 0 mWL ada luasan yang terbentuk pada garis dasar sehingga  luas garis air tidak sama dengan nol.

2. Coefficient of  Water Line (CWL)

CWL adala nilai perbandingan antara luas bidang garis air tiap water line dengan sebuah segi empat dengan panjang L dan lebar B dimana L adalah panjang maksimum dari tiap water line dan B adalah lebar maksimum dari tiap water line.

3. Ton Per Centimetre Immersion (TPC)

TPC adalah jumlah ton yang diperlukan untuk mengadakan perubahan sarat kapal sebesar 1 cm. Bila kita menganggap tidak ada perubahan luas garis air pada perubahan sarat sebesar 1 cm, atau pada perubahan 1 cm tersebut dinding kapal dianggap vertikal. Jadi kalau kapal ditenggelamkan sebesar 1 cm, maka perubahan volume adalah hasil kali luas garis air dengan tebal pelat pada garis air tersebut. Dengan demikian penambahan volume dan berat dapat dirumuskan sebagai berikut :

Penambahan volume   =  t x WPA   [ m3 ]

Penambahan berat       =  t x WPA x 1.025 [ ton ]

Dimana t adalah tebal pelat pada tiap WL dan 1,025 adalah berat jenis air laut.

4. Midship of Section Area (MSA)

MSA adalah luas moulded kapal pada section midship untuk tiap-tiap sarat kapal. Harga MSA untuk tiap sarat dapat diketahui dari Tabel B pada Perhitungan Hidrostatik untuk Main Part.

5. Midship Coefficient (CM)

CM adalah perbandingan luas penampang midship kapal dengan luas suatu penampang dengan lebar B dan tinggi T untuk tiap water line.

6. Block Coefficient (CB)

CB adalah perbandingan isi karene dengan balok dengan panjang L, lebar B dan tinggi T. Hal ini juga berlaku untuk tiap-tiap water line. Dengan demikian CB dapat dirumuskan sebagai berikut :

7.   Transverse Center of Bouyancy to Metacenter (TBM)

TBM adalah jarak titik tekan bouyancy ( gaya tekan ke atas air ) secara melintang terhadap titik metasentra. Satuannya dalam meter (m).

8. Prismatic Coefficient (w)

Cp adalah perbandingan volume karene dengan volume prisma dengan luas penampang midship kapal dan panjang L. Dengan perhitungan lebih lanjut Cp dapat dirumuskan sebagai berikut:

9.   Moment to change Trim one Centimeter (MTC)

MTC adalah momen yang diperlukan untuk mengadakan trim sebesar 1 cm. Satuannya dalam Ton meter.

10. Displacement Due to one centimeter of Trim by stern (DDT)

DDT adalah besarnya perubahan displacement kapal yang diakibatkan oleh perubahan trim kapal sebesar 1 cm.

11. Displacement (D)

Displacement adalah berat air laut yang dipindahkan karena adanya volume badan kapal yang tercelup ke dalam air (karene) termasuk juga akibat tambahan adanya pelat karene. Jadi displacement di sini adalah penjumlahan dari displacement moulded dengan shell displacement.

12. Displacement Moulded ( Dmld )

Displacement moulded adalah berat air laut yang dipindahkan karena adanya volume karene tanpa kulit. Nilai ini didapat dari perkalian volume karene dengan berat jenis air laut yaitu 1,025.

13. Wetted Surface Area (WSA)

WSA adalah luas permukaan badan kapal yang tercelup dalam air pada setiap water line-nya. WSA didapat dari jumlah perkalian half girth dengan faktor luas pada setiap station dan setiap water line-nya.

14. Sheel Displacement (b)

Shell Displacement adalah berat air laut yang dipindahkan karena adanya kulit/pelat pada karene. Semua satuan displacement dalam ton.

15. Longitudinal Center of Bouyancy to Metacenter (LBM)

LBM adalah jarak titik tekan bouyancy secara memanjang terhadap titik metasentra. Satuannya dalam meter (m).

16. Longitudinal of Keel to Metacenter (LKM)

LKM adalah letak metasentra memanjang terhadap lunas kapal untuk tiap-tiap sarat kapal. Satuannya dalam meter(m). LKM didapat dari penjumlahan LBM dengan KB.

17. Longitudinal Center of Bouyancy ( LCB)

Lcb atau FB adalah jarak titik tekan bouyancy terhadap penampang midship kapal untuk setiap sarat kapal. Satuannya dalam meter. Tanda negatif (-) dan positif (+) menunjukkan letaknya ada di depan midship (+) dan di belakang midship (-).

18. Longitudinal Center of Floatation (LCF)

Lcf atau FF adalah jarak titik berat garis air terhadap penampang tengah kapal untuk setiap sarat kapal. Satuannya dalam meter. Seperti juga Lcb tanda (-) dan (+) menunjukkan bahwa titik Lcf terletak didepan dan di belakang midship.

19. Keel to Center of Bouyancy (KB)

KB adalah jarak titik tekan bouyancy ke lunas kapal. Satuannya dalam meter (m).

20. Transverse of Keel to Metacenter (TKM)

TKM adalah letak titik metasentra melintang terhadap lunas kapal untuk tiap-tiap water line-nya. Satuannya dalam meter (m).

LENGKUNG BONJEAN (BONJEAN CURVES)

Lengkung Bonjean adalah lengkung / grafik yang menunjukkan luas station sebagai fungsi sarat.

Jadi untuk menghitung luas station sampai setinggi sarat yang diinginkan dapat di baca pada lengkung-lengkung Bonjean dengan menarik garis mendatar hingga memotong lengkung bonjean pada station dan sarat yang diinginkan. Pada umumnya Lengkung Bonjean cukup digambarkan sampai dengan geladak tepi kapal (Upper Deck Side Line) sepanjang kapal.

Fungsi Lengkung Bonjean

Lengkung Bonjean berfungsi untuk mendapatkan volume dan displacement tanpa kulit  pada setiap sarat yang dikehendaki, baik kapal tersebut dalam keadaan even-keel maupun trim dan juga pada saat kapal terkena gelombang. Untuk langkah pengerjaan selanjutnya lengkung bonjean digunakan untuk perhitungan Kebocoran (Floodable Length).

 Dan semua koeffisien diatas dapat didapatkan dengan manual ataupun dengan bantuan software. Untuk mendapatkan dengan bantuan software akan dijelasan pada sesi tutorial

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 9 Agustus 2013 inci Artikel

 

Construction of Offshore Structure

The Construction of Offshore Structure considered in any aspect which you can see in new windows by clicking them included :
 
Physical Environmental Aspects Of Marine and Offshore Construction
1.0 General
1.1 Distances and Depths
1.2 Hydrostatic Pressure and Buoyancy
1.3 Temperature
1.4 Seawater and Sea–Air Interface Chemistry, Marine Organisms
1.5 Currents
1.6 Waves and Swells
1.7 Winds and Storms
1.8 Tides and Storm Surges
1.9 Rain, Snow, Fog, Whiteout, and Spray; Atmospheric Icing, Lightning
1.10 Sea Ice and Icebergs
1.11 Seismicity, Seaquakes, and Tsunamis
1.12 Floods
 
Geotechnical Aspects: Seafloor and Marine Soils
2.1 General Aspect of Seafloor
2.2 Dense Sands
2.3 Calcareous Sands
2.4 Boulders on and near the Seafloor Surface; Glacial Till
2.5 Overconsolidated Silts
2.6 Sub-Sea Permafrost and Clathrates
2.7 Weak Arctic Silts and Clays
2.8 Ice Scour and Pingos
2.9 Methane Gas
2.10 Muds and Clays2.11 Coral and Similar Biogenic Soils; Cemented Soils
2.12 Unconsolidated Sands
2.13 Underwater Sand Dunes (“Megadunes”)
2.14 Rock Outcrops
2.15 Cobbles
2.16 Deep Gravel Deposits
2.17 Seafloor Oozes
2.18 Seafloor Instability and Slumping; Turbidity Currents
2.19 Concluding Remarks Concerning Seafloor
 
Ecological and Societal Impacts of Marine Construction
3.1 General
3.2 Oil and Petroleum Products
3.3 Toxic Chemicals
3.4 Contaminated Soils
3.5 Construction Wastes
3.6 Turbidity
3.7 Sediment Transport, Scour, and Erosion
3.8 Air Pollution
3.9 Marine Life: Mammals and Birds, Fish, and Other Biota
3.10 Aquifers
3.11 Noise
3.12 Highway, Rail, Barge, and Air Traffic
3.13 Protection of Existing Structures
3.14 Vibration
3.15 Safety of the Public and Other Vessels
 
Materials and Fabrication for Offshore Structures
4.1 Steel Structures for the Offshore Environment
4.2 Structural Concrete
4.3 Hybrid Steel–Concrete Structures
4.4 Plastics and Synthetic Materials, Composites
4.5 Titanium
4.6 Rock, Sand, and Asphaltic–Bituminous Materials
 
Marine and Offshore Construction Equipment
5.0 General
5.1 Basic Motions in a Seaway
5.2 Buoyancy, Draft, and Freeboard
5.3 Stability
5.4 Damage Control
5.5 Barges
5.6 Crane Barges
5.7 Offshore Derrick Barges (Fully Revolving)
5.8 Catamaran Barges
5.9 Semisubmersible Barges
5.10 Jack-Up Construction Barges
5.11 Launch Barges
5.12 Offshore Dredges
5.13 Pipe-Laying Barges
5.14 Supply Boats
5.15 Anchor-Handling Boats
5.16 Towboats
5.17 Drilling Vessel
5.18 Crew Boats
5.19 Floating Concrete Plant
 
Marine Operations
6.1 Towing
6.2 Moorings and Anchors
6.3 Handling Heavy Loads at Sea
6.4 Personnel Transfer at Sea
6.5 Underwater Intervention, Diving, Underwater Work Systems, ROV’s,
and Manipulators
6.6 Underwater Concreting and Grouting
6.7 Offshore Surveying, Navigation, and Sea-Floor Surveys
6.8 Temporary Buoyancy Augmentation
 
Seafloor Modifications and Improvements
7.1 General
7.2 Controls for Grade and Position: Determination of Existing Conditions
7.3 Seafloor Dredging and Obstruction Removal
7.4 Dredging and Removal of Hard Material and Rock
7.5 Placement of Underwater Fills
7.6 Consolidation and Strengthening of Weak Soils
7.7 Prevention of Liquefaction
7.8 Scour Protection
7.9 Concluding Remarks
 
Installation of Piles in Marine and Offshore Structures
8.1 General
8.2 Fabrication of Tubular Steel Piles
8.3 Transportation of Piling
8.4 Installing Piles
8.5 Methods of Increasing Penetration
8.6 Insert Piles
8.7 Anchoring into Rock or Hardpan
8.8 Damaged Piles
8.9 Pre-Stressed Concrete Piles for Marine Structures
8.10 Handling and Positioning of Piles
8.11 Drilled and Grouted Piles
8.12 Belled Footings
8.13 Other Installation Methods and Practices
8.14 Improving the Capacity of Piles
 
Harbor, River, and Estuary Structures
9.1 General
9.2 Harbor Structures
9.3 River Structures
9.4 Piers for Overwater Bridges
9.5 Submerged Prefabricated Tunnels (Tubes)
9.6 Storm Surge Barriers
9.7 Flow Control Structures
 
Coastal Structures
10.1 General
10.2 Ocean Outfalls and Intakes
10.3 Breakwaters
10.4 Offshore Terminals
 
Offshore Platforms: Steel Jackets and Pin Pil
11.1 General
11.2 Fabrication of Steel Jackets
11.3 Load-Out, Tie-Down, and Transport
11.4 Removal of Jacket from Transport Barge; Lifting; Launching
11.5 Upending of Jacket
11.6 Installation on the Seafloor
11.7 Pile and Conductor Installation
11.8 Deck Installation
11.9 Examples
 
Concrete Offshore Platforms: Gravity-Based Structures
12.1 General
12.2 Construction Stages
12.3 Enhancing Caisson–Foundation Interaction
12.4 Sub-Base Construction
12.5 Platform Removal
 
Other Applications of Offshore Construction Technology
13.1 General
13.2 Hybrid Concrete–Steel Platforms
13.3 Single-Point Moorings
13.4 Articulated Columns
13.5 Seafloor Templates
13.6 Underwater Oil Storage Vessels
13.7 Cable Arrays, Moored Buoys, and Seafloor Deployment
13.8 Ocean Thermal Energy Conversion
 
Installation of Submarine Pipelines
15.1 General
15.2 Conventional S-Lay Barge
15.3 Bottom-Pull Method
15.4 Reel Barge
15.5 Surface Float
15.6 Controlled Underwater Flotation (Controlled Subsurface Float)
15.7 Controlled Above-Bottom Pull
15.8 J-Tube Method from Platform: Single- and Double-Pull
15.9 J-Lay from Barge
15.10 S-Curve with Collapsible Floats
15.11 Bundled Pipes
15.12 Directional Drilling
15.13 Laying Under Ice
15.14 Protection of Pipelines: Burial and Covering with Rock
15.15 Support of Pipelines
 
Plastic and Composite Pipelines, Cables
16.1 Submarine Pipelines of Composite Materials and Plastics
16.2 Cable LayingTopside Installation
17.1 General
17.2 Module Erection
17.3 Hook-Up
17.4 Giant Modules and Transfer of Complete Deck by Heavy Lift
17.5 Float-Over Deck Structures
17.6 Integrated Deck

Underwater Repairs
18.1 General
18.2 Repairs to Steel Jacket-Type Structures
18.3 Repairs to Steel Piling
18.4 Repairs to Concrete Offshore Structures
18.5 Repairs to Foundations
18.6 Fire Damage
18.7 Pipeline Repairs

Strengthening Existing Structures
19.1 General
19.2 Strengthening of Offshore Platforms and Terminals, Members, or Assemblies
19.3 Increasing Capacity of Existing Piles for Axial Loads
19.4 Increasing Lateral Capacity of Piles and Structures in Interaction with Seafloor Soils
19.5 Seismic Retrofit
 
Removal and Salvage
20.1 General
20.2 Piled Structures (Terminals, Trestles, Shallow-Water Platforms)
20.3 Offshore Drilling and Production Platforms (Jackets with Piles)
20.4 Gravity-Base Platforms
20.5 New Developments in Salvage TechniquesConstructibility
21.1 General
21.2 Construction Stages
21.3 Principles of Construction
21.4 Facilities and Methods for Fabrication and Launching
21.5 Assembly and Jointing Afloat
21.6 Material Selection and Procedures
21.7 Construction Procedures
21.8 Access
21.9 Tolerances
21.10 Survey Control
21.11 Quality Control and Assurance
21.12 Safety
21.13 Control of Construction: Feedback and Modification
21.14 Contingency Planning
21.15 Manuals
21.16 On-Site Instruction Sheets
21.17 Risk and Reliability Evaluation

Construction in the Deep Sea
22.1 General
22.2 Considerations and Phenomena for Deep-Sea Operations
22.3 Techniques for Deep-Sea Construction
22.4 Properties of Materials for the Deep Sea
22.5 Platforms in the Deep Sea, Compliant Structures
22.6 Tension-Leg Platforms
22.7 SPARS
22.8 Deep-Water Moorings
22.9 Construction Operations on the Deep Seafloor
22.10 Deep-Water Pipe Laying
22.11 Deep-Water Bridge Piers

Arctic Marine Structures
23.1 General
23.2 Sea Ice and Icebergs
23.3 Atmospheric Conditions
23.4 Arctic Seafloor and Geotechnics
23.5 Oceanographic
23.6 Ecological Considerations
23.7 Logistics and Operations
23.8 Earthwork in the Arctic Offshore
23.9 Ice Structures
23.10 Steel and Concrete Structures for the Arctic
23.11 Deployment of Structures in the Arctic
23.12 Installation at Site
23.13 Ice Condition Surveys and Ice Management
23.14 Durability
23.15 Constructibility
23.16 Pipeline Installation
23.17 Current Arctic Developments

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 9 Agustus 2013 inci Ocean Technology

 

Application Letter dan Curriculum Vitae

Dalam melamar pekerjaan, hal yang terpenting dalam melamar pekerjaan adalah Application letter dan Curriculum Vitae

Cover letter / Application letter merupakan kata pengantar yang berisikan sedikit rangkuman dari CV kita. Dalam tulisan ini terdapat contoh Cover letter dan CV untuk template yang saya buat. Tapi di password yaaa..hehehe…

Template CV / Curriculum Vitae

Template Application letter

Pass 10nopember

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 9 Agustus 2013 inci Artikel